Sejujurnya, saya tidak mau ikut kontroversi mengenai kasus hukum Pak Harto. Saatnya para pemimpin Republik, atas nama sejarah masa depan, mengambil keputusan final mengenai hal tersebut. Apa pun keputusan itu, sehebat apa pun kontroversi yang mungkin terjadi, saya mendengar dan patuh.
Selebihnya, mari berpikir masa depan. Karena pada dasarnya, lawan kita bukan Pak Harto atau yang lain. Lawan kita itu sejatinya adalah negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Jepang serta negara-negara yang sedang mengalami lompatan ke depan seperti China dan India. Kalah bersaing dengan mereka, republik ini bisa digulung sehingga tinggal remah-remah kemiskinan yang tersisa.
Itu terjadi karena kita berputar-putar terus pada masalah yang tidak produktif. Dendam, iri, benci, persaingan tidak sehat. Kalau begini terus, suatu hari nanti anak-anak muda Indonesia hanya akan terduduk lesu di trotoar jalan karena kualitas mereka tidak bisa bersaing dengan bangsa-bangsa lain.
Itu terjadi karena kita berputar-putar terus pada masalah yang tidak produktif. Dendam, iri, benci, persaingan tidak sehat. Kalau begini terus, suatu hari nanti anak-anak muda Indonesia hanya akan terduduk lesu di trotoar jalan karena kualitas mereka tidak bisa bersaing dengan bangsa-bangsa lain.
Oleh sebab itu, mari kita bangun mimpi bersama untuk masa depan. Bung Karno, Pak Harto, Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, dan nanti SBY kalau sudah tidak menjadi presiden harus kita hormati sebagai pemimpin bangsa. Kepada mereka berlaku forgive but not forget.
Lebih daripada itu, ada legacy untuk mereka, baik dalam bentuk perpustakaan maupun pusat kajian. Jadi, akan ada kompleks perpustakaan dan advance studies tentang pemikiran, strategi politik, dan kebijakan semasa mereka berkuasa. Arah bangsa ini bisa kita ikuti secara saksama dalam irama yang teratur dan progres menanjak.
Pendeknya, ibarat mau membangun masjid agung atau katedral, setiap pemimpin hanya perlu meletakkan satu bata. Ini membangun peradaban.
Oleh karena itu, sekali seorang pemimpin ingin membangun sendirian, dukungan politik harus segera ditarik. Peluang dia untuk melanggar hukum dan menyalahgunakan kekuasaan menjadi sangat tinggi.
Saya justru bisa melihat dengan jernih bahwa kasus Jarwo Kwat dari republik tetangga, yaitu Republik Mimpi, ternyata sangat serius. Jarwo yang jadi korban penipuan malah jadi tersangka dan dikejar-kejar bak seorang teroris.
Dalam perspektif politik, gejala seperti ini harus dicurigai sebagai satu simpul dari rangkaian aktivitas terorisme bayangan. Elite berkuasa sengaja melakukan operasi intelijen dan manuver politik demi menjaga citra kekuasaannya. Cara-cara yang tidak demokratis mulai ditanam lagi. Jika dugaan ini benar, kasihan benar nasib republik tetangga itu. Demokrasi dilipat lagi demi kekuasaan.
Keliru jika ada kekhawatiran berlebih bahwa kritik bisa memengaruhi popularitas seorang penguasa. Studi oleh Hasbi Sobirin (2007) membantah hal itu.
Ketika Golkar dan Akbar Tandjung dikritik habis media massa dan aktivis, ternyata perolehan suara Golkar menempati urutan kedua pada Pemilu 1999 dan memenangi Pemilu 2004. Kuncinya adalah pendekatan Akbar kepada jejaring kadernya. Komunikasi personal yang intensif bukan saja mematahkan kekuatan media, tetapi juga menyatukan rasa percaya diri para kader.
Bercermin dari studi tersebut, seorang pemimpin sebenarnya tidak perlu terlalu risau dengan citra diri untuk mendapatkan julukan sebagai pemimpin bersih. Gelar ini tidak berarti apabila tak ada program aksi yang bisa mengangkat martabat rakyat. Seseorang dianggap bermartabat apabila bisa membeli beras, tidak kelaparan, dan mempunyai pekerjaan. Jika menganggur, sulit merasa bermartabat.
Ketakutan saya pada seorang pemimpin yang hanya risau dengan citra dirinya adalah apabila dia menerapkan apa yang penulis sebut sebagai hukum "victory" (hukum "V"). Jika seorang pemimpin bekerja keras demi rakyat, otomatis ia akan terpilih lagi. Jika prestasinya biasa saja, ia tidak akan dipilih. Jika prestasinya jeblok, kemiskinan menyebar ke mana-mana, ia akan terpilih kembali.
Pertanyaannya adalah mengapa ketika prestasinya jeblok, ia malah akan terpilih lagi? Dalam situasi kemiskinan meluas, rakyat menjadi semakin pesimistis. Akibatnya, mereka menjadi pragmatis. Jadi, siapa pun yang bisa memberikan insentif lebih, dalam bentuk apa pun, kepada rakyat, dia yang akan dipilih. Semoga republik ini tidak mempunyai seorang pemimpin yang membiarkan rakyatnya tetap miskin dan menganggur hanya demi bisa terpilih kembali. Tapi, jika itu terjadi di masa depan, ini memang Republik Mimpi Buruk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar