Senin, 28 Januari 2008

Menghantar Pak Harto



Akhirnya Pak Harto meninggalkan kita. Kepergiannya mungkin akan meninggalkan berbagai kontroversi. Tetapi, sebagai orang beragama, kita diajarkan untuk mengenang yang baik-baik dari orang yang telah menghadap-Nya.

Tuhan sering mempunyai rahasia bagi umat-Nya. Seorang yang tidak bermimpi menjadi presiden menjadi presiden selama 32 tahun. Pak Harto bukan orang yang diperhitungkan menggantikan Presiden Soekarno jika tidak terjadi G30S/PKI.

Lepas dari sasaran pembunuhan G30S/PKI, Pak Harto bahkan berhasil menumpasnya. Apa jadinya jika saat itu Pak Harto tidak tegar menghadapi situasi tak menentu pada 1 Oktober 1965?
Bagaimana seorang yang tidak diperhitungkan ternyata berani tidak hadir menghadap Bung Karno di Halim saat beberapa jenderal Angkatan Darat terbunuh. Padahal, semua tahu, kekuasaan Bung Karno amat besar. Pak Harto tahu, di Halim berkumpul orang-orang G30S/PKI.

Begitu pula, betapa orang yang tidak diperhitungkan itu tidak menaati keputusan Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Presiden Soekarno yang mengangkat Jenderal Pranoto Reksosamodra sebagai caretaker Menteri/Panglima Angkatan Darat menggantikan Jenderal Ahmad Yani yang terbunuh. Lebih jauh, betapa ia bisa berbeda pendapat dengan Bung Karno dalam menyikapi pembubaran PKI. Seandainya tidak ada orang seperti Soeharto, PKI mungkin akan selamat dari peristiwa G30S/PKI. Wajar jika Soeharto paling dibenci PKI.

Sikap seperti itu mungkin dapat dianggap indisipliner. Namun, beda pendapat antara kepemimpinan sipil dan militer di Indonesia sebenarnya sudah sering terjadi. Di awal kemerdekaan, Jenderal Soedirman berbeda dengan Bung Karno. Juga kejatuhan Gus Dur, saat dekritnya tidak dipatuhi. Semua itu terjadi saat kepentingan nasional dipertaruhkan.

Ketika kekuatan sipil bertemu Pak Harto di markas Kostrad—masih di awal Oktober 1965—Pak Harto masih ragu terhadap dukungan kekuatan sipil, politik, dan organisasi massa non-komunis yang dipimpin Subchan ZE dan kawan-kawan. Padahal, saat itu Pak Harto sedang berhadapan dengan kekuatan G30S/PKI.

Cita-cita ”madeg pinandito”

Menjelang sidang MPR tahun 1998, ada suara-suara Pak Harto tidak bersedia dicalonkan sebagai presiden untuk ketujuh kalinya. Ibu Tien Soeharto telah meminta Pak Ruslan Abdulgani (almarhum) untuk membujuk Pak Harto tidak bersedia dicalonkan lagi.

Namun, Ketua Umum Golongan Karya Harmoko meyakinkan, rakyat masih menghendaki Pak Harto menjabat presiden lagi. Dan benar, pada sidang MPR, Maret 1998, meski di luar gedung MPR sudah ada demo mahasiswa yang menghendaki Pak Harto berhenti, Pak Harto masih terpilih secara aklamasi oleh MPR.

Ternyata, suara di gedung dan di luar MPR berbeda. Demo dan kerusuhan membesar dan sikap pimpinan DPR/MPR pun berubah, meminta Presiden Soeharto mengundurkan diri. Meski tidak melalui sidang MPR, Pak Harto menyatakan berhenti, hanya dua bulan setelah terpilih. Apa yang terjadi jika Pak Harto tidak menyatakan berhenti?

Sebagai presiden/mandataris MPR, MPR membekali Pak Harto sebuah senjata ampuh, yaitu untuk melakukan segala tindakan yang diperlukan terhadap hal-hal yang dapat menghambat jalannya pembangunan. Ternyata, senjata ini tidak pernah bisa digunakan. Saat demo membesar, pimpinan DPR/MPR memintanya mundur, Pak Harto memutuskan berhenti. Pak Harto menyadari, dukungan terhadapnya sudah memudar. Jika Pak Harto tetap bertahan dan menumpas demo dengan kekerasan, mungkin darah kaum muda akan mengalir. Sebuah sikap kenegarawanan yang agaknya lepas dari perhatian kita.

Meski demikian, hujatan kepada Pak Harto terus berjalan. Niatnya untuk madeg pinandito terganjal gugatan hukum karena Tap XI/MPR/1999 mengamanatkan untuk mengadili Pak Harto dalam rangka pemberantasan KKN. Pak Harto sempat diadili, memperoleh SP3, dibuka kembali lalu memperoleh SKPP Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, saat Pak Harto dirawat di RS untuk kesekian kalinya. Kini, masalah perdata belum terselesaikan.

Cita-citanya mendirikan 999 masjid melalui Yayasan Amalbakti Muslim Pancasila juga belum terwujud. Rencananya, 999 masjid itu akan selesai tahun 2009. Sampai 2008, baru selesai 989 masjid. Semoga penghargaan yang diberikan pemerintah dapat lebih melapangkan jalannya menghadap Tuhan.

oleh: Sulastomo Koordinator Gerakan Jalan Lurus

1 komentar:

Zaidan Jauhari mengatakan...

salam solidaritas,
kita sebagai anak bangsa yang hormat akan pendahulunya,sudah sepatutnya memebrikan hormat,apalagi beliau adalah seorang pejuang pada masanya,saya selaku pribadi sangat menyadari akan hala ini, skali lagi "selamat jalan bapak pembangunan" pejuang bangsaku,dan semoga engkau diterima dan ditempatkan di tempat yang layak disisinya.... amin