Rabu, 13 Februari 2008

Merayakan Cinta


Make love not war, itulah semboyan yang bergema tahun 1960, mengawali protes anak-anak muda Amerika terhadap Perang Vietnam. Perang Vietnam berlangsung tahun 1959-1975 dengan kemenangan Vietnam Utara atas Vietnam Selatan yang mendapat dukungan Amerika Serikat.

Semboyan itu dianut sebagian besar anak muda AS kelahiran sesudah Perang Dunia II, yang disebut baby boomers, yang kemudian menggerakkan perubahan budaya besar-besaran. Sesudah itu muncul John Lenon, kelompok Hippies dan revolusi seks. Kapitalisme memanfaatkan peluang itu untuk meraup keuntungan dari eksploitasi seks. Maka, lahirlah industri seks dan pornografi hingga kini.

Salah satu legenda Valentine tampaknya mempunyai alur yang mirip. Saat itu kaisar Claudius II yang beranggapan lelaki muda yang belum menikah lebih perkasa sebagai tentara. Karena itu, ia melarang perkawinan pasangan muda demi kepentingan perang. Valentine yang melihat pelanggaran hak dan keadilan ini melawan dekret kaisar dan menikahkan pasangan-pasangan muda yang bercinta. Mendengar itu, kaisar Claudius marah dan memerintahkan Valentine untuk dihukum mati. Jadi, semboyan make love not war rupanya berlaku juga bagi Valentine.

Misteri cinta

Baru-baru ini majalah Time (4 Februari 2008) memuat reportase panjang tentang berbagai penelitian yang menjelaskan, cinta dan hubungan seks merupakan proses dari dorongan biologis dan enzim atau zat-zat kimia dalam tubuh kita. Tanpa menyangkal kejelian berbagai penelitian itu, tampaknya orang biasa masih beranggapan cinta tetap merupakan sesuatu yang lebih dari sekadar proses biologis-kimiawi. Ada semacam misteri yang tetap tersembunyi, entahkah akan pernah terbongkar secara ilmiah, yang dalam pandangan filsafat dan agama mungkin akan disebut peristiwa rohani. Yakni, cinta itu terjadi karena dikehendaki oleh sesuatu subyek secara bertanggung jawab. Seandainya tidak, cinta hanya akan berupa dorongan naluriah yang akhirnya tak lebih dari mekanisme sebuah mesin.

Namun, sejauh manakah orang menyadari dan mau menjalani cinta seperti itu? Dari kenyataan hidup sehari-hari, ketika irama kehidupan memaksa orang sibuk dengan agenda pekerjaan rutin, lebih-lebih dengan adanya krisis ekonomi dan konflik sosial akut, yang membuat stres massal, masihkah orang sungguh-sungguh ”melakukan cinta” (make love) dan bukan hanya mengandaikannya?

Theodore Zeldin dalam An Intimate History of Humanity (1994) mengamati, masyarakat selalu mengembangkan bentuk-bentuk baru percintaan atau ungkapan cinta lewat musik, syair, percakapan, dan sebagainya guna mengatasi kebosanan hidup. Namun, menurut penulis ini, romantisme cinta tidak identik dengan perkawinan sebab idealisasi perempuan yang merupakan penggerak cinta tidak pernah selesai. Demikian juga independensi perempuan yang diciptakan dalam perkawinan. Mungkin itulah sebabnya, ada anggapan perkawinan bisa menghilangkan romantisme dan mematikan cinta. Itulah alasan anak-anak muda Eropa—dan tidak kurang para selebriti—lebih suka ”kumpul kebo” daripada meresmikan perkawinan. Ada etika tersendiri yang mungkin perlu dipertimbangkan bagi yang sering menilai secara apriori mengenai gejala itu.

Gampangnya, dalam perkawinan hanya ada satu macam cinta, sementara di luar perkawinan cinta mempunyai berbagai cita rasa. Maka, kata Zeldin, ”dalam sebagian besar sejarah, cinta dianggap sebagai ancaman stabilitas dari individu maupun masyarakat karena stabilitas biasanya dihargai lebih tinggi daripada kebebasan”. Jelaslah di sini, Zeldin menandai cinta dengan kebebasan. Kebebasan cinta inilah yang lebih sering ditulis dalam novel dan roman daripada kemapanan keluarga karena sifat-sifatnya yang menarik itu. Para penulis novel tidak jarang melukiskan cinta romantik justru dalam perlawanannya dengan hubungan keluarga, yang dianggap suci oleh agama-agama.

Merayakan cinta

Menurut Robert C Solomon (The Virtue of Love dalam Midwest Studies in Philosophy vol XIII, 1988) cinta menjadi ”romantik” karena adanya unsur-unsur pergulatan, konflik, ketegangan untuk saling mengalah atau mengalahkan; juga unsur keasingan dari ”yang lain” yang tiba-tiba bisa memberi revelasi, kejutan, ”suspense” atau ”surprise” yang membahagiakan. Itulah kekhasan romantic love dibandingkan dengan familial love yang mapan.

Dengan demikian, cinta romantik selalu ingin merasuki kehidupan keluarga, menggugatnya, lalu memperbarui. Sementara kehidupan keluarga berusaha menjinakkan cinta agar bisa dikuasai dan dikendalikan. Tetapi dengan cara demikian, kehidupan keluarga justru membunuhnya.

Dalam novel terbarunya, Ascolta la Mia Voce (2006), Susanna Tamaro melontarkan sindiran kepada mereka yang tak bisa lagi mengagumi keindahan alam, melalui kata-kata Ottavio, ”mereka yang hidup di daerah tropis mungkin jemu pada bunga-bunga dan berakhir pada keengganan untuk melihatnya, tetapi padang belantara yang menghasilkan bunga hanya sekali saja merupakan anugerah tak terduga....”

Ottavio mengatakan hal itu karena ia hidup di daerah gersang di wilayah Israel dan harus bekerja keras untuk mengurus pertanian. Ia ingin mendidik anak-anaknya mencintai tanaman. Dan lontaran kata-kata itu dapat menjadi sindiran bagi mereka yang hidup di tanah tropis, tetapi suka membabati hutan tanpa ampun. Secara lebih luas dan halus, sindiran itu mengena bagi mereka yang hidup dalam keluarga, tetapi lama tidak merasakan getaran cinta. Cinta seolah diandaikan saja dan dianggap sebagai barang biasa, kalau tidak malah tanpa sadar digerotinya.

Jika demikian, manusia memerlukan Valentine’s Day, hari khusus untuk mengingat dan merayakan cinta agar kehidupan keluarga tidak menjadi mandul dan membosankan. Namun, lebih dari perayaan yang diformalkan, yang lebih penting adalah pendidikan seni, musik, syair, dan aneka ungkapan cinta bagi anak-anak agar kelak jika dewasa, mereka mampu mengagumi kehidupan sebagai ladang penuh bunga dan tidak melihatnya sebagai medan perang yang penuh tentara.

A Sudiarja Dekan Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta; Redaktur Pelaksana Majalah Basis

Selasa, 05 Februari 2008

Menghapus Pilkada Langsung

Polemik tentang pemilihan kepala daerah langsung muncul kembali.

Jika pada pembahasaan naskah akademik UU No 32 Tahun 2004, polemik terkait pertanyaan apakah pilkada langsung dapat meredam politik uang selama 2001-2004, kini debat terarah pada mahal dan rendahnya kualitas pilkada. Maka, Ketua Umum PB NU KH Hasyim Muzadi mengusulkan agar pilkada dihapus (Kompas, 26/1/2008).


Demokrasi itu lokal

Pemilihan kepala daerah langsung adalah instrumen untuk meningkatkan participatory democracy dan memenuhi semua unsur yang diharapkan. Apalagi, sebenarnya demokrasi bersifat lokal, maka salah satu tujuan pilkada adalah memperkuat legitimasi demokrasi.

Meski demikian, di negara-negara lain, keberhasilan pilkada langsung tidak berdiri sendiri. Ia ditentukan kematangan partai dan aktor politik, budaya politik di masyarakat, dan kesiapan dukungan administrasi penyelenggaraan pilkada. Kondisi politik lokal yang amat heterogen, kesadaran dan pengetahuan politik masyarakat yang rendah, jeleknya sistem pencatatan kependudukan, dan penyelenggaraan pemilihan (electoral governance) sering menyebabkan kegagalan tujuan pilkada langsung.

Manor dan Crook (1998) menyebutkan, dalam banyak hal pemilihan langsung kepala daerah dan pemisahan antara mayor (kepala daerah) dan counceilor (anggota DPRD) di negara berkembang menyebabkan praktik pemerintahan kian buruk. Faktor utamanya adalah karakter elite lokal yang kooptatif dan selalu menutup kesempatan pihak lain untuk berkompetisi dalam politik, pengetahuan dan kesadaran politik masyarakat yang rendah, dan tidak adanya pengawasan DPRD terhadap kepala daerah.

Faktor-faktor itu terefleksi di Indonesia. Kooptasi kekuasaan dilakukan incumbent dengan memanfaatkan akses birokrasi. Akibatnya tidak jarang data kependudukan dimanipulasi, proses penyelenggaraan pilkada tidak obyektif dan tidak independen.

Sebagian besar problem dan gugatan pilkada di Indonesia bermula dari data kependudukan yang tidak valid. Demikian pula, rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap esensi pilkada menyebabkan praktik politik uang dalam pilkada. Khusus untuk Indonesia, problem pilkada diperberat kualitas partai politik dan aktor politik yang tidak memadai. Kasus Pilkada Malut dan Sulsel menunjukkan betapa sulitnya menghasilkan pilkada berkualitas dan diterima semua pihak.

Demokrasi ”versus” efisiensi

Tuntutan untuk menghapus pilkada langsung bukan tanpa alasan. Di negara-negara demokrasi modern yang memiliki tradisi pemilihan langsung, penyelenggaraan pemilu dilakukan secara terintegrasi dengan sistem birokrasi lokal. Lebih konkret, pilkada langsung di negara-negara itu dilakukan Biro Statistik Lokal atau Dinas Kependudukan Lokal yang memiliki perangkat dan sistem kependudukan memadai.

Dengan cara itu, ada dua manfaat efisiensi. Pertama, penyelenggara pemilu tidak dibayar hanya untuk menyelenggarakan pemilu. Hal ini kontradiktif terjadi di Indonesia, bahwa biaya KPUD menjadi amat mahal untuk menyelenggarakan semua tahapan, mulai dari pendaftaran pemilih hingga penetapan pemenang.

Kedua, pilkada adalah pesta demokrasi biasa yang menjadi hal biasa pula sehingga tidak dibutuhkan persiapan dan biaya khusus untuk penyelenggaraan. Mahalnya pilkada di Indonesia karena merupakan pesta akbar dan harus dibiayai secara khusus, mulai dari pendaftaran ulang yang sering tidak valid, pengadaan barang dan jasa untuk pencoblosan yang berulang tiap pemilihan, sampai kampanye jorjoran yang dilakukan parpol dan calon. Dengan kata lain, pilkada adalah ”proyek besar”, harus dibiayai anggaran besar pula. Akibatnya, inefisiensi terjadi dalam paradigma proyek pilkada.

Logika berpikir proyek dalam pilkada ini tidak saja merasuki pemikiran penyelenggara pilkada, tetapi juga partai politik, aktor politik, calon kepala daerah, birokrasi di pusat dan daerah, serta masyarakat pemilih. Proyek ini berlanjut sampai esensi dan tujuan kemenangan pilkada. Tidak heran jika partai politik dan aktor politik rela mengeluarkan miliaran rupiah untuk dapat mengikuti kompetisi pilkada.

Uang ini digunakan mulai dari menentukan parpol pengusung, kampanye besar-besaran untuk mendongkrak popularitas calon, sampai upaya memengaruhi pilihan masyarakat. Tentu saja tidak ada yang gratis dalam pesta akbar pilkada. Biaya yang dikeluarkan ini harus diganti oleh uang rakyat dalam APBD melalui arisan proyek bagi investor politik yang ikut membiayai pilkada. Jadi, apa yang dikhawatirkan banyak pihak tentang mahal pilkada mendekati kebenaran. Pilkada bukan hanya mahal dari sisi biaya penyelenggaraan yang harus ditanggung APBD, tetapi juga mahal dari ongkos yang harus dibayar masyarakat dalam arisan proyek bagi investor politik. Cukup valid untuk mengatakan pilkada langsung memboroskan uang negara dan belum memberi hasil optimal.

Meski demikian, saya kurang sependapat jika pilkada langsung dihapus. Perubahan kebijakan yang radikal dapat menimbulkan situasi chaos. Yang harus dilakukan, mengubah cara pandang pilkada sebagai pesta biasa.

Untuk jangka panjang, birokrasi yang netral dan profesional dapat menjadi pilihan penyelenggara pilkada untuk menjadikan pilkada sebagai hal biasa dalam kehidupan parpol, aktor politik, dan masyarakat pemilih.

Eko Prasojo Guru Besar FISIP UI; Anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD)